Monday, December 20, 2010

Preserved collection of dry and wet vertebrate pests

Preserved collection of dry and wet vertebrate pests  

The first part: Rat
By:
Irawan Erwin PermanaTechnical staff of BPTP Pontianak


Rats collection speciment
Collection of vertebarata pests require different treatments and ways when compared with the manufacture of collections of insect pests. With all the literature that discuss the collection of insect pests, how to make it relatively easy because it is very detailed. As for making collections of vertebrate pests is still very limited sources of information, especially in cyberspace. Therefore, I hope what has been done in BPTP Pontianak can give a little contribution in Indonesian plantation crop protection.

With all the resources that we have, we try to do the collection of vertebrate pests as one of the demands in the areas of our work as a field laboratory staff. The first thing we do is collecting insects from the field. Rats that we use comes from Segedong, one of the central areas of coconut plants in Pontianak regency.

Firstable, we killed rats with high doses of chloroform. Then we conduct screening to determine the type of collection we will do next. Screening is one of the decisions for us to make a collection of dry and wet. We decided to do a dry collection of a large rat among rats, whereas a rather small size made in the form of wet collections.
Screening of rats
The next step, we let the rats for at least 1-3 hours in a state of death so that the blood clot and does not splatter when our surgery. Perform preparation tools and materials needed to perform the surgery and skinning rats. 


Tool - a tool used namely, the base where the surgical do, rubber gloves (optional because sometimes makes working hand gloves hampered unless sensitive rubber gloves for medical standards); 10 ml syringes, scalpels and stem; sewing needle and cotton, elastic wire for a replacement the rat bones; wire cutters, collection box made of glass, styrofoam and knife. Materials - materials used, the powder to avoid fur flying rats and minimize odor, formaldehyde, cotton and camphor.


Tools and materials


Starting surgery and skinning:

  1. Start cutting the neck skin of rat, do it by pinching the skin in the neck. Try not to involve the flesh of rat. Then cut crosswise ± 1cm.
  2. Continue to cut the skin lengthwise toward sex mice (done with care, do not to cut in the flesh).
  3. Skinning process begins by pulling the skin so that apart from flesh (such as pulling clothes from the body) with care so will not to tear the skin or flesh come.
  4. Skin pulled up to a foot - the foot of a mouse in his wrist.
  5. Cut the foot of the rats in the wrist, prepare tissue for the anticipated release of blood.6. Then massage the rat tail, gently pull the tail bone out of his skin sheath.
  6. The last part of the process of skinning is to cut the neck of rats, so the only remaining part of the head and legs - legs of rats.After the skinning process is complete then the next part is to prepare the ingredients - ingredients for the filling mouse skin with cotton and then stitched. Prepare the syringe, then suck up to the limit of formaldehyde in 5 ml bottles. Insert the thread into the needle, with a length of yarn for sewing adjusted estimates along the body of rats from start sexes up to the neck of rats.
to be continued with pics...






Monday, December 13, 2010

Mengenal Lophobaris piperis Marshall dan Pengendaliannya

Oleh:
Erwin Irawan Permana (dari berbagai sumber)
Staf Laboratorium Lapangan BPTP Pontianak

Lophobaris piperis Marshall dikenal sebagai hama pada tanaman lada yang menyebabkan kerugian secara ekonomis tinggi. Sudaryanto (2000) menyatakan bahwa, jenis hama utama pada tanaman lada di Lampung adalah penggerek batang (Lophobaris spp.) dan pengisap buah (Dasynus piperis) sedangkan penyakit utamanya adalah penyakit busuk pangkal batang (Phytophtora capsisi). Tingkat kematian tanaman muda dan tanaman produktif akibat serangan penyakit busuk pangkal batang mencapai antara 5-10 persen per tahun.


Dengan banyaknya kerugian yang ditimbulkan, maka kita harus mengenal lebih jauh mengenai makhluk yang satu ini. Lophobari piperis Marshall hanya salah satu dari genus Lophobaris yang menyerang pada tanaman lada. Pada tanaman lada terdapat 2 hama dari genus Lophobaris yang merugikan petani lada. Sutarno dan Agus (2009) menyatakan bahwa terdapat dua jenis kumbang penggerek yang menjadi hama tanaman lada, yaitu kumbang kecil (Lophobaris piperis) dan kumbang besar (Lophobaris seretipes). Disebut dengan kumbang kecil karena ukurannya yang sangat kecil, panjangnya hanya sekitar 4 mm dengan warna abu-abu berbercak kuning ditengahnya. Sementara itu, kumbang besar berukuruan lebih beasr dari kumbang kecil yang di Lampung dikenal dengan nama gagajah.

1.      Kumbang kecil aktif dari pukul 17.00 – 18.30 dan pada siang hari berisitirahat di rerimbunan dedaunan yang teduh dan gelap. Perkembangannya sangat cepat karena kumbang betina mampu bertelur hingga 525 butir setiap kali musim berkembang biak. Mereka menjadi hama tanaman lada karena menggerek batang tepat di buku – buku batang dan buku – buku cabang. Bagian yang terserang akan berlubang – lubang serta serangan yang serius mengakibatkan tanaman layu dan mati.
2.      Kumbang besar menjadi hama karena menggerek batang dan larvanya menghisap cairan tanaman di batang yang masih muda serta pucuk tanaman. Serangan serius mengakibatkan tanaman layu dan akhirnya mati.
    Dengan mengetahui dimana posisinya dalam pengelompokkan silsilahnya diharapkan dapat dipelajari lebih mendetail perihal karakteristik dan sifat-sifat khasnya dibandingkan dengan spesies lainnya. Berikut silsilah dari Lophobaris piperis :
Domain: Eukaryota  - Whittaker & Margulis,1978 - eukaryotes
Kingdom: Animalia - Linnaeus, 1758 - animals
Subkingdom: Bilateria - (Hatschek, 1888) Cavalier-Smith, 1983
Branch: Protostomia - Grobben, 1908
Infrakingdom: Ecdysozoa - Aguinaldo Et Al., 1997 Ex Cavalier-Smith, 1998
Superphylum: Panarthropoda  - Cuvier 
Phylum: Arthropoda - Latreille, 1829 - Arthropods
Subphylum: Mandibulata  - Snodgrass, 1938
Infraphylum: Atelocerata  - Heymons, 1901
Superclass: Panhexapoda
Epiclass: Hexapoda
Class: Insecta  - C. Linnaeus, 1758 - Insects
Subclass: Dicondylia 
Infraclass: Pterygota
Order: Coleoptera  - C. Linnaeus, 1758
Suborder: Polyphaga  - Emery, 1886 - a genus of Blister Beetles (Meloidae)
Infraorder: Cucujiformia
Superfamily: Curculionoidea
Family: Curculionidae  - Latreille, 1802
Genus: Lophobaris
Specific name: piperis - Marshall, G.A.K., 1930
Scientific name: - Lophobaris piperis Marshall, G.A.K., 1930
Polyphaga adalah subordo terbesar dan paling beragam dari serangga jenis kumbang, nama ini berasal dari dua dua kata Yunani: poli-, yang berarti 'banyak, beragam', dan phagein, yang berarti 'makan', jadi subordo polyphaga disebut juga "pemakan segala". Subordo ini terdiri dari 144 Famili dari 16 superfamilies, dengan kemampuan adaptasi dan spesialisasi yang beragam. Subordo ini terdiri 300.000 jenis atau sekitar 90% dari spesies kumbang sejauh ini ditemukan (wikipedia, 2010). Karakteristik kunci dari Polyphaga adalah bahwa coxa belakang (pangkal kaki), tidak membagi perut pertama dan kedua / piring perut yang dikenal sebagai sternites. Juga, jahitan notopleural (ditemukan di bawah perisai pronotal) tidak hadir (Johnson et al. 2004).
Penggerek batang ini juga menjadi penyebab timbulnya penyakit yang disebut dengan “ganggang pirang“, setidaknya demikian yang diungkapkan oleh pakar penyakit tanaman dari UGM. Berikut kutipan diskusinya dengan staf Balai Proteksi Tanaman Perkebunan Pontianak : ”Pemupukan N yang berlebihan ditambah dengan lapisan top soil hanya sekitar 15 cm menyebabkan kondisi tanaman lemah (batangnya lunak) sehingga disukai oleh hama penggerek batang lada (Lophobaris piperis) ”kata pakar penyakit dari UGM Prof. Dr. Bambang Hadisutrisno, DAA. Serangga ini membuat lubang gerekan dan mengeluarkan sekresi yang manis sehingga jamur Septobasidium bogoriensis yang memang sudah ada di udara terbuka menempel pada cabang/ranting juga pada serangga. Jamur Septobasidium epifitik terutama pada tanaman berkayu, dan parasitik pada serangga dan mengabsorbsi nutrien serangga dengan haustoria. Larva yang terparasit jamur tidak segera mati, menembus cabang lada membuat lubang atau terowongan di dalam cabang atau batang lada. Selanjutnya jamur berkembang dan mencapai permukaan, membentuk koloni berwarna kecoklatan mengelilingi batang atau cabang lada yang menyerupai lichenes. Warna kecoklatan ini oleh masyarakat disebut pirang, dan karena mirip lichenes maka disebut ganggang pirang (bptpbun pontianak, 2009).
Tanaman, binatang dan mikroorganisme bisa berinteraksi satu sama lain dimana interaksi tersebut dibutuhkan oleh mikroorganisme penyebab penyakit untuk memasuki jaringan tanaman dengan vektor dari binatang (serangga) (Agrios 1980 dalam Marianne, 1988). Transmisi patogen jamur pada tanaman oleh serangga dapat terjadi melalui polinasi ataupun lewat luka karena proses makan dan peletakan telur oleh ovipositor. Kontaminasi serangga oleh jamur dapat terjadi diluar atau dalam tubuh serangga tersebut. Dapat terjadi hubungan simbiosis antar jamur dan serangga dimana jamur mendapatkan makanan dari eksudat yang dikeluarkan oleh serangga (Carter, 1973 dalam Marianne, 1988).
Pengendalian kumbang ini dapat dilakukan secara mekanis dan kimiawi. Pengendalian secara mekanis dilakukan dengan cara menggelar kain putih di dekat pangkal batang, kemudian menggoyang-goyangkan tanaman lada, sehingga kumbang berjatuhan. Setelah terkumpul di kain putih, kumbang dimusnahkan dengan cara dibakar (Sutarno dan Agus 2009). Pengendalian L. piperis dengan cara mekanis atau kimiawi dilakukan karena populasi serangga ini ditemukan sepanjang tahun. Pengendalian dengan cara mekanis dapat dilakukan setiap hari dengan cara mengambil dan membunuh serangga, baik serangga dewasa maupun larva yang terdapat pada tanaman. Pengendalian dengan cara ini selain mudah dilakukan juga aman bagi lingkungan (Rojak, 2002). Hama penggerek batang ini memiliki musuh alamu yaitu Spathius piperis yang menjadi parasit pada larva penggerek batang. Untuk meningkatkan populasi dari parasit ini maka dapat dilakukan dengan menanam Arachis pintoii (tanaman sejenis kacang-kacangan atau akar berbintil) diantara tanaman lada. Sehingga dengan cara ini serangan hama ini dapat ditekan (Sutarno dan Agus, 2009).

Sementara itu, untuk pengendalian secara kimiawi bisa dilakukan dengan menyemprot tanaman menggunakan insektisida Supracide 40 EC atau menyebarkan Furadan 3 G di sekeliling perakaran tanaman. Dosis yang aman dapat dibaca di kemasannya (Sutarno dan Agus, 2009). Rojak (2002) menyatakan bahwa pengendalian dengan menggunakan insektisida akan banyak menimbulkan kerugian. Selain biayanya yang tinggi dan mencemari lingkungan, juga dapat menyebabkan residu pestisida pada biji, terutama bila aplikasinya dilakukan pada saat musim buah tua/masak. Menurut Deciyanto dan Wiratno (1990, dalam Rojak, 2002), usaha pengendalian hama ini sebaiknya dihubungkan dengan tahap pertumbuahan tanaman. Saat pertumbuhan vegetatif, insektisida dengan daya residu panjang lebih aman digunakan. Saat tanaman sedang berproduksi, pengendalian hama akan lebih aman menggunakan insektisida dengan daya residu terpendek, karena residu diharapkan telah terurai sebelum panen sehingga buah lada aman untuk dikonsumsi. Selain itu, pengendalian dengan menggunakan pestisida, aplikasinya harus dilakukan pada waktu dan saat yang tepat. Aplikasi sebaiknya dilakukan pada pagi hari atau sore hari saat cuaca sejuk dan kelembapan tinggi. Biasanya pada saat tersebut serangga dewasa masih berada diluar tanaman sehingga bila dilakukan penyemprotan akan langsung mengenai sasaran.

Tingkat populasi serangga dewasa L. piperis tertinggi terjadi pada musim buah tua/masak yaitu pada bulan Juli – Oktober. Tingkat populasi terendah terjadi pada musim bunga yaitu bulan Januari – Maret. Pengendalian hama L. piperis dengan menggunakan pestisida sebaiknya dilakukan pada waktu yang tepat sehingga didapatkan hasil yang maksimal.

Daftar Pustaka

Sudaryanto Bambang. 2000. Pengendalian hama penyakit pada tanaman lada. Loka Pengkajian Teknologi Pertanian (LPTP) Natar. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 21 hal.

Sutarno & Agus Andoko. 2009. Budi Daya Lada; Si Raja Rempah-rempah. AgroMedia Pustaka. Cetakan 1.

Johnson, Norman F.; Triplehorn, Charles A. (2004). Borror and DeLong's Introduction to the Study of Insects (7th ed.). Belmont: Brooks/Cole. pp. 365–400, 428–429. ISBN 0030968356.

Marianne, P. de Nooij. 1988. The Role of Weevils in the Infection Process of the Fungus Phomopsis subordinaria in Plantago lanceolata. Blackwell Publishing. klik disini

Rojak, Abdul. 2002. PENGAMATAN DAN PENGENDALIAN POPULASI HAMA PENGGEREK BATANG (Lophobaris piperis) PADA TANAMAN LADA. Buletin Teknik Pertanian Vol 7. Nomor 2. klik disini


Sunday, December 12, 2010

Beasiswa ke Perancis 2011 Info resmi dari BGF klik disini

Beasiswa Pemerintah Prancis (BGF) 2011 sudah dibuka !
Tentang BGF 2011 :
Pemerintah Prancis melalui Kedutaan Besar Prancis di Jakarta telah memberikan beasiswa kepada warga Indonesia selama lebih dari 30 tahun. Dalam rangka mengembangkan Sumber Daya Manusia di Indonesia, Kedutaan Besar Prancis akan memberikan beasiswa untuk tahun 2010.
Beasiswa tersebut diberikan kepada pegawai negeri, dosen, mahasiswa (terutama mereka yang terlibat dalam program kerjasama antara Prancis dan Indonesia) untuk mengikuti 2 jenis program pendidikan :
  • Master (full scholarship)
  • Doktorat (full scholarship - 18 bulan)
Juri akan memberikan prioritas kepada mereka yang telah melakukan identifikasi program baik master atau doktorat dan yang telah memiliki respon positif / rekomendasi dari profesor Prancis atau surat penerimaan.
CampusFrance Indonesia dapat membantu Anda untuk menemukan program studi yang Anda minati.
Aplikasi harus diserahkan paling lambat tanggal 31 maret 2011 !

Saturday, December 11, 2010

Ayah Ibu dan Arsyad

Ayah sekarang mungkin tidak bersama Arsyad secara fisik, tapi Arsyad selalu ada dalam setiap doa dan mimpi-mimpi ayah....

Beginilah keadaan keluarga kami yang harus terpisah karena tugas mengabdi pada negara, tetapi konsekuensi yang memang sudah dipikirkan sebelumnya, but i never thought its gonna be this hard...

Hanya foto - foto ini yang selalu dilihat berulang - ulang, setelah lelah bekerja ato sebelum tidur, segera kita akan bersama Anakku, karena Ibu dan Arsyad adalah tanggung jawab Ayah saat ini dan nanti...



It's your smile,

Your face, your lips that I miss,
Those sweet little eyes that stare at me
And make me say,
I'm with you through all the way...











Bisa jadi terlalu banyak jika harus ditampilkan momen - momen antara Ayah Ibu dan Arsyad, tapi cukup untuk sekarang. Satu pesan saya " Syukuri dan sayangi orang-orang disekitar kalian " sebelum jarak memisahkan...

Friday, December 10, 2010

How to understanding in controlling of Rats by Its Habbits (poisonous baits)

By
Erwin Irawan Permana
Field Laboratory Staff of BPTP Pontianak
West Borneo, Indonesia


Rats were group in pests of rice field mostly in Indonesia, but also attacks almost everything. Here in West Borneo besides rice field, rats attacks palm tree and cocoa. Althougt its not the major pests in the plantation, but still can effect to loss of yields.

How to control rats attack there’s a lot of ways, commonly use such as traps or use a bait with poisons. Rats have a specified characters such as neophobia. Neophobia is one of the rats characters that’s need to be concern in controlled rats. If we use a baits we need to make a free bait with no poisons, because the “neophobic” so rats will not eat the baits before he can sure that the baits is save to eat. The reaction of rats if seeing something new, then it will examine the thing and mostly it will make a new trail to avoid that new thing (it is nephobia means).

Besides neophobia rats always stick on its pathway, rats will not make a different trail to move from the nest to the source of its food. That is why we can control them by looking for their tracks. An active nests is different from the nonactive nests, we can see the different from its pathway that existing near the nests. Rats also have a habbits that can help us to find their nests, rats always pee and drops their feses a long in their pathway. The smell of urine and feses of the rats can help us to put the freebait (without poisons) in their ways. Use of poison that have a chronical effects is recommended because its neophobic. If a rats dead because of an accute poison, it will makes others afraid of eating the baits.

After we put a free baits, than we monitored the free baits to make sure that the rats eat it. In free baitings we can also make a various baits, so we can know which baits that the rats prefered to eat. But in this case, we can use a baits from palm tree or cocoa. After we have the results from the freebaitings of rats, then we now go to the next steps. Firstable we need to prepare the poisons, we can make the poisons from organic material such as gadung (it’s a local fruit) that have a poisonous effects or we use a chemical posions such as choumatetralyl (we can buy it from limited chemical store or from university labs).

The organic material need to process before we can use it, my advice is we use the chemicals poisons for its simplicity to use. We can drawn the baits in a water that contains with poisons, or we can use it with the baits that we make ourselves. We can make a baits from essence of cocoa mix with wax and choumatetralyl. We cook in metal bowl to melt the wax, then we put the essence of cocoa or cheese, after that we put the poisons and stir until mix together. Before the wax goes hard, we take an ice tray then we pour that mixed wax in it. After its hard then we knock out the wax from ice tray and now we have a poisonous baits of our own. One thing that I known from my college Doctor, “Rats is color blind, its depends on their sense of smelling to identified things”. That’s for sure that we can make our own free baits, and just focused on the essence to attract rats.

Back to our discuss about controlling rats with poisonous baits. Now after we have the poisonous baits, we can starts to put the baits in rats pathways. The scenario is that one of the rats eat the baits and because its doesn’t know that the baits is poisonous so another rats will eat the baits too. The active poisons of choumatetralyl will make an effect after seven days. The symptom is very hard dehydrate from the rats, that is because this active poisons (choumatetralyl) attacks the bloods of rats by its specific form to antikoagulated the bloods. So the rats will tried to drink lot of water and that’s why the rats will dead near by the source of water.

That is what I know about rats and their habbits in the context of controlling its attacks on plantation. In other case my senior use fishery waste to attrack the rats. He use the head of shrimp waste mix with wax and poisons to baits the rats, and he succeed to controlled it. That’s why I just make an example about the baits, so we can improvize to choose the suitable ways to controlling rats in our place.

Im sorry because my english its not that good enough, but I tried to do best…
Hopefully this article helps you…

Thursday, December 9, 2010

Inventarisasi OPT pada pembibitan karet di Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Pontianak Provinsi Kalimantan Barat pada Tahun 2009

Oleh :
Erwin Irawan Permana 
Staf LL BPTP Pontianak

Dari hasil inventarisasi organisme pengganggu tumbuhan (OPT) pada pembibitan karet di Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Pontianak Provinsi Kalimantan Barat pada Tahun 2009 diperoleh hasil sebagai berikut :
Hasil inventarisasi OPT pada pembibitan karet di Kabupaten Sanggau dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Inventarisasi OPT pada Pembibitan Karet di Kabupaten Sanggau  





























Dari tabel hasil inventarisasi OPT pembibitan karet di Kabupaten Sanggau yang dilakukan di wilayah binaan UPPT Parindu, UPPT Sanggau Kapuas, UPPT Batang Tarang, dan UPPT Beduai dengan luas hamparan 45 hektar. Dapat ditunjukkan bahwa OPT pada pembibitan karet yang menyebar dan diurutkan menurut dominasinya adalah :
  1. Penyakit Gugur Daun Karet (GDK) yang disebabkan oleh pathogen Colletotrichum gloesporioides
  2. Penyakit Jamur Akar Putih (JAP) yang disebabkan oleh pathogen Rigidophorus lignisus
  3. Penyakit embun tepung yang disebabkan oleh pathogen Oidium heveae   
  4. Hama Kutu yang diduga Saissetia nigra dan Kutu Lak (Laccifer greeni)
Hasil inventarisasi OPT pada pembibitan karet di Kabupaten Pontianak dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Inventarisasi OPT pada Pembibitan Karet di Kabupaten Pontianak

Dari tabel hasil inventarisasi OPT pada pembibitan karet di Kabupaten Pontianak yang dilakukan di wilayah binaan UPPT Toho dan UPPT Sungai Kunyit pada 12 penangkar dengan jumlah luas areal 38 hektar menunjukkan bahwa OPT yang menyebar dan paling dominan adalah:
  1. Penyakit Gugur Daun Karet (GDK) yang disebabkan oleh pathogen Colletotrichum gloeosporioides
  2. Penyakit embun tepung yang disebabkan oleh pathogen Oidium heveae
  3. Penyakit daun yang disebabkan oleh pathogen Helmintosporium sp
  4. Penyakit Jamur Akar Putih (JAP) yang disebabkan oleh pathogen Rigidophorus lignisus
  5. Hama Rayap

Erwin Irawan Permana. 2007. Inventory of Entomopathogenic fungi of B. tabaci Genn. (Homoptera:aleyrodidae) in Kecamatan Ciwidey. Under guidance of Sudarjat and Endah Yulia.

          The presence of B.  tabaci is a potential of pests on crop plants in Kecamatan Ciwidey that may cause economicals damage. The most outstanding feature of the species is its ability to adapt to a variety of host plants and to unfavourable environmental conditions. The objective of this research was to find potential fungus that pathogenic to B. tabaci in Kecamatan Ciwidey. This research was carried out from November 2006 to July 2007.

   The sample of this research were collect from three areas in Kecamatan Ciwidey (Panundaan, Lebakmuncang, Ciwidey). Isolation and Identification of the sample were taken at the Laboratory of Phytopathology, Departement of Plant Pests Science and Diseases, Faculty of Agriculture, Universitas Padjadjaran. Pathogenicity test of the isolated fungi were conducted both in laboratory and field experiment at the Panundaan area of Kecamatan Ciwidey.
 The result of this experiment showed that there were two pathogenic fungi, i.e., Paecilomyces species of Lebakmuncang and Panundaan isolate. The Paecilomyces sp. of Panundaan isolate infected B. tabaci both in the laboratory experiment and the field experiment. Meanwhile, Paecilomyces sp. of Lebakmuncang isolate infected only B. tabaci on the laboratory experiment.    

Praktek Pengendalian Hayati

Praktek Pengendalian Hayati  meliputi,

  1. Introduksi
  2. Augmentasi
  3. Konservasi
1. Introduksi = impor musuh alami ® praktek klasik (awal usaha pengendalian hayati).
Contoh:
*  Memasukkan Rodolia cardinalis untuk mengendalikan kutu perisae (Icerya purchasi) pada Jeruk dari Australia ke California.
*  Pada tahun 1920 Indonesia memasukkan Pediobius parvulus dari Fiji untuk mengendalikan hama kumbang Promecotheca reichei yang menyerang kelapa.
*  Pada Tahun 1988-1990 introduksi Curinus careolius dari Hawai untuk mengendalikan kutu loncat Hetropsylla.

Introduksi antar pulau di Indonesia

1.                  Pemasukan parasitoid Tetrastichus brontispae dari pulau Jawa ke Sulawesi Selatan dan Utara untuk mengendalikan Brontispa longissima.
2.                  Parasitoid telur Leefmansia bicolor dari pulau Ambon ke pulau Talaud untuk mengendalikan Sexava; dan Parasitoid Chelonus sp. dari Bogor ke Flores untuk mengendalikan hama bunga kelapa Batrachedra arenosella.
Introduksi parasit/ parasitoid dari luar daerah (eksotik) bertujuan:
a.                   Mengisi kekosongan niche (relung) pada sistem kehidupan hama, terutama terhadap hama pendatang (migran).  Hama pendatang akan cepat berkembang di lingkungan baru karena tidak ada musuh alami.
b.                  Musuh alami yang ada di daerah setempat tidak memiliki kemampuan kuat untuk mengendalikan hama.  Dengan memasukkan pengendali alami dari daerah lain yang memiliki kemampuan kuat untuk mengatur perkembangan populasi hama (pergantian kompetitif) dapat menekan pop. hama.
Ada beberapa langkah klasik dalam introduksi musuh alami:
1.                  Penjelajahan atau eksplorasi luar negeri
2.                  Pengiriman parasitoid dan predator dari luar negeri
3.                  Karantina parasitoid dan predator yang diimpor di dalam negeri
4.                  Perbanyakan parasitoid dan predator di laboratorium.
5.                  Pelepasan dan pemapanan
6.                  Evaluasi.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam introduksi musuh alami.
1.                  Teknik introduksi  umumnya hanya berhasil digunakan untuk hama eksotik, sedang pada hama asli kurang berhasil.
2.                  Keberhasilan tergantung pada stabilitas agro-ekosistem, misal pada tanaman tahunan biasanya memiliki stabilitas agroekosistem sehingga musuh alami yang diintroduksi diharapkan dapat berkembang dan mapan pada ekosistem baru .  Contoh penggunaan musuh alami untuk mengendalikan hama-hama di perkebunan.
2. Augmentasi (peningkatan)
Tujuan augmentasi adalah untuk meningkatkan jumlah musuh alami atau pengaruhnya.  Hal itu dapat dicapai dengan melepaskan sejumlah tambahan musuh alami ke ekosistem atau memodifikasi ekosistem sehingga jumlah dan efektifitas musuh alami (m.a.)dapat ditingkatkan.
Teknik augmentasi biasanya bertujuan menekan populasi hama secara sementara atau berjangka waktu pendek sedangkan introduksi berjangka panjang.
Menurut Strehr (1982) pelepasan periodik augmentatik dilakukan dalam tiga cara:
1.                  Pelepasan inokulatif: Pelepasan m.a. hanya sekali, diharapkan m.a. dapat berbiak dan menyebar.
2.                  Pelepasan suplemen, m.a. dilepaskan apabila perkembangan populasi hama lebih cepat dari m.a. Bertujuan mengembalikan fungsi m.a.
3.                  Pelepasan massal (inundatif), bertujuan menurunkan populasi hama secara cepat, sehingga sering disebut sebagai penggunaan insektisida biologik.
3. Konservasi musuh alami, bertujuan menghindarkan tindakan yang dapat menurunkan populasi m.a.
Sebagai contoh menggunakan insektisida secara selektif.
 Pengendalian Hayati dengan patogen hama
Dengan cara:
1.                  Memanfaatkan secara maksimal proses pengendalian alami oleh patogen. Menjaga ekosistem supaya patogen berfungsi secara “density dependent”
2.                  Introduksi dan aplikasi patogen hama sebagai faktor mortalitas tetap.  Teknik yang digunakan adalah dengan cara memasukkan dan menyebarkan patogen.   Agar patogen dapat bwrkembang diperlukan syarat adanya kepadatan pop. inang tinggi (hama dengan AE tinggi), sehingga cukup bagi perkembangan awal patogen.
3.                  Aplikasi patogen sebagai insektisida mikroba, bertujuan menekan populasi hama sementara waktu. Contoh penggunaan NPV terhadap Helicoverpa armigera,  Agrotis ipsilon) dan Bacillus thuringiensis terhadap Leptinotarsa decemlineata (menyerang umbi kentang), Agrotis ipsilon, Darna trima. Cendawan Mettarizium anisopliae terhadap Helicoverpa armigera, Agrotis ipsilon, Oryctes rhinoceros, Spodoptera litura.
Keuntungan penggunaan insektisida mikroba adalah:
a.                   berspektrum sempit
b.                  khas inang
c.                   aman bagi lingkungan
d.                  tidak membunuh binatang bukan sasaran
Keuntungan pengendalian hayati adalah: permanen, aman dan ekonomik.
(dari berbagai sumber)

My Little Happy Family

Wednesday, December 8, 2010

10 tahun persahabatan kita...

Cendawan Entomopatogen Fusarium sp. terhadap Pengendalian Pupa PBK Conopomorpha cramerella Snellen

Hama Penggerek Buah Kakao (Conopomorpha cramerella(Snellen))
Menurut Kalshoven (1981) C. cramerella sebelumnya dikenal dengan nama Acrocercops cramerella Snellen tergolong dalam : Kingdom : Animalia, Filum : Arthopoda, Kelas : Insekta, Ordo : Lepidoptera, Famili : Gracillaridae, Genus : Conopomorpha, Spesies : Cramerella, Nama Ilmiah Conopomorpha cramerella Snellen.
Perkembangan hama PBK keberbagai daerah di Indonesia sejalan dengan penyebaran klon-klon Djati Runggo (DR) dari Jawa Tengah. Keberadaan hama PBK saat ini, dilaporkan telah terdapat di Papua, Maluku, Sulawesi, Kalimantan Timur, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Riau dan Pulau Jawa. Keberadaan PBK di Sumatera disebabkan daerah tersebut berdekatan dengan daerah serangan PBK di negara bagian Malaka, Johor, Negeri Sembilan dan Pahang (Malaysia). Mengingat transportasi antara kedua daratan tersebut cukup lancar, peluang PBK masuk ke Sumatera Utara cukup besar. Demikian pula untuk propinsi-propinsi di Kalimantan, peluang daerah tersebut tertular hama PBK dari Serawak dan Sabah yang letaknya berdekatan juga cukup tinggi (Atmawinata, 1993).
Ditinjau dari letak geografisnya, PBK dari serangan di Malaysia berpeluang masuk ke Sumatera Utara dan Kalimantan sedangkan yang dari daerah serangan di Filipina Selatan berpeluang masuk ke Sulawesi Utara. Hal ini memberi pemahaman bahwa sekali PBK masuk ke suatu pertanaman kakao, serangga akan tetap tinggal ditempat tersebut dan populasinya akan tetap berfluktuasi pada tingkat yang menimbulkan kerusakan buah (Wiryadiputra et. Al., 1994).
Timbulnya hama PBK di berbagai daerah di Indonesia diduga berkaitan dengan introduksi bahan tanaman kakao (buah dan bibit) dari daerah sumber hama PBK ke dalam pertanaman yang telah berproduksi dalam rangka perluasan areal tanam (Wardojo, 1981). Hal ini pernah terjadi di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah hanya dalam waktu 23 tahun setelah diintroduksi bibit kakao dari Malaysia ke Kasimbar dan sekitarnya pantai timur Donggala, ternyata areal pertanaman kakao di wilayah tersebut terserang hama PBK.
Serangan C. cramerella di Sulawesi Selatan terdeteksi pertama kali pada bulan Oktober 1995 dengan luasan serangan 96 Ha. Sejak ditemukannya C. cramerella di Kabupaten Luwu pada tahun 1995, hama tersebut cepat meluas. Pada tahun 2000 sudah mencapai 103.900 Ha. Dalam setahun berikutnya bertambah kurang dari 30.000 Ha, sehingga pada tahun 2001 mencapai 134. 982 Ha atau telah meluas lebih dari 50 % areal pertanaman kakao di Sulawesi Selatan (Salahuddin, 2003).
Siklus Hidup
Siklus hidup hama PBK C. cramerella melalui beberapa stadium perkembangan yaitu telur, larva, pupa dan imago. Dari telur sampai menjadi imago diperlukan waktu sekitar 26 - 35 hari dan rata-rata 28 hari (Anonim, 2004). Stadium telur 69 hari, larva 1518 hari, pupa 68 hari, dan imago 37 hari (Suparno, 1999). Sedangkan menurut Siregar (2000) stadium telur 7 hari, larva 16 hari, dan pupa 7 hari. Siklus hidup dari telur sampai imago 27-34 hari.
a. Telur. Telur berbentuk oval dan berwarna kuning orange pada saat baru diletakkan (Deppraba, 2002). Telur diletakkan satu persatu pada permukaan kulit buah dan memiliki warna jingga. Bentuknya bulat panjang berukuran 0,30 - 0,45 mm. Periode telur 6-9 hari (Susanto, 2004). Menjelang menetas telur kelihatan bersih keputihan (Wessel, 1993 dalam Mustafa, 2005). Telur sangat sulit dilihat dengan mata telanjang (Lim 1992). Telur diletakkan hanya pada permukaan kulit buah dan tidak pada bagian – bagian lain dari dari tanaman kakao (Wardojo, 1980 dalam Mustafa, 2005).
Masa Inkubasi telur PBK tergantung pada faktor fisik lingkungan terutama suhu dan kelembaban. Menurut Alba et al., (1985) rata–rata masa inkubasi adalah 3-4 hari pada suhu 28ºC dan hasil observasi dilapangan menunjukkan bahwa lama stadium telur berkisar 2 – 7 hari(Lim 1992). Kadang - kadang lebih lama yaitu 6 – 7 hari (Wessel 1993 dalam Mustafa, 2005). Demikian juga persentase telur menetas tergantung pada kondisi lingkungan. Lim (1992) menyatakan bahwa persentase telur menetas dalam kondisi laboratorium hanya 69,64%, sedang dalam kondisi lapangan dapat mencapai 95,12% . Hal ini berbeda dengan yang dikemukakan oleh Alba et al., (1985) yaitu rata-rata telur dalam kondisi laboratorium dapat mencapai 98,14 %. Larva keluar dari telur setelah 6-7 hari dan meninggalkan kulit telur pada permukaan kulit buah (Wessel 1993 dalam Mustafa, 2005).
b. Larva. Larva C. cramerella terdiri dari 5 instar (Alba et al.,1985). Stadium larva C. cramerella Snellen antara 3-4 hari pada instar I dan II, 3-5 hari pada instar III dan IV dan 3-6 hari pada instar V. Stadium larva 14-18 hari.
Setelah 15-18 hari di dalam buah, larva yang mencapai ukuran panjang 10-11 mm dan berwarna hijau pucat membentuk fase prapupa. Tubuh prapupa berwarna kuning pucat hingga kuning kehijauan, berukuran panjang 10,4 mm, dan lebar 2,3 mm (Suparno, 1999). Menurut Wiryadiputra (1993) bahwa pupa berwarna kecoklatan dengan panjang 7-8 mm dan lebar 1 mm. Panjang larva sekitar 1,2 cm dan berwarna ungu muda hingga putih (Bennu, 2006), sedangkan menurut Suparno (1999) larva berwarna kekuningan dengan panjangnya 1 mm keluar dari telur setelah 6-7 hari. Selanjutnya menurut Anshari (2000) larva pada stadium awal (instar I) berwarna putih transparan dan larva instar terakhir (menjelang prapupa) berwarna kuning tua.
Lim (1992) mengemukakan bahwa larva yang menjelang menjadi pupa mulai keluar dari buah pada pukul 18. 00 , puncaknya pada pukul 20.00 – 22. 00 , dan tidak ditemukan larva keluar setelah pukul 08.00 pagi. Setelah keluar dari buah larva segera merayap pada permukaan buah atau menjatuhkan diri dengan bergantung pada benang sutra mencari substrat tempat berpupa. Sebelum menjadi pupa, larva terlebih dahulu menganyam kokon berupa membran kedap air sebagai pelindung (Wardojo, 1980; Lim, 1992, Wessel, 1993, Wiryadiputra, 1993 dalamMustafa, 2005). Rata–rata waktu yang dibutuhkan untuk menganyam kokon 41 menit (Lim, 1992; Wessel, 1993).
c. Pupa. Menurut Alba et al., (1985) bahwa pupa C. cramerellaberwarna kuning kehijaun dan berada dalam kokon yang terbuat dari benag-benang sutera yang keluar dari mulutnya berwarna cokelat muda. Menurut Suparno (1999) bahwa kokon C. cramerella berwarna cokelat dengan ukuran 6-7 mm x 1,0 – 1,5 mm yang berada dalam kokon yang berbentuk bulat telur dengan ukuran 6,9 x 13 x 18 mm (Anonim, 2004).Menurut Bennu (2006) bahwa pupa berwarna abu-abu gelap dengan panjang 8 mm.
Pupa dapat ditemukan pada permukaan kulit buah, pada daun segar, daun kering, batang, cabang, dan gulma. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pupa juga dapat melekat pada karung, keranjang panen, kotak kardus tempat buah segar, bahkan pada kendaraan yang digunakan untuk mengangkut hasil panen (Wardojo, 1980). Lim et al.,(1982) mengemukakan bahwa larva PBK lebih memilih daun-daun kering di atas permukaan tanah (68%), buah (26%), dan batang (5%), serta cabang dan ranting-ranting pohon kakao (1%) sebagai tempat berkepompong.
Stadium pupa berlangsung rata-rata 7 hari (Wardojo, 1980), atau 6,68 hari menurut Lim et al., (1982) mengemukakan bahwa lama stadium pra pupa dan pupa dalam kondisi laboratorium pada suhu 28ºC adalah 9,8 hari. Menurut Lim (1992) proses keluarnya imago dari pupa membutuhkan waktu sekitar satu menit dan hal itu umumnya terjadi antara pukul 19.00 – 21.00
d. Imago. Imago betina hanya meletakkan telur hanya pada permukaan buah kakao terutama pada alur kulit buah. Menurut Roepke (1992 dalam Wardojo, 1980) imago C. Cramerella meletakkan telurnya satu persatu pada permukaan buah kakao. Selanjutnya dikemukakan jumlah telur yang diletakkan seekor betina C. cramerella berkisar 50-100 butir.
Imago C. cramerella memiliki panjang tubuh 7 mm dan lebar 2 mm, memiliki sayap depan berwarna hitam bergaris putih, pada setiap ujungnya terdapat bintik kuning dan sayap belakang berwarna hitam, memiliki antena yang panjang serta runcing (Bennu, 2006). Perkembangan C. cramerella sejak telur sampai stadium dewasa memerlukan waktu 27-33 hari (Wardojo, 1994).
Serangga ini aktif pada malam hari termasuk aktivitas kawin dan bertelur antara jam 18.00 – 20.30. Pada siang hari biasanya berlindung di tempat lembab dan tidak terkena sinar matahari. Daya terbangnya pun tidak terlalu tinggi namun mudah terbawa oleh angin. Serangga dewasa ini sendiri hanya berumur 5-7 hari, jadi setelah bertelur dia akan mati (Bennu, 2006).
Gejala Serangan
Kerusakan yang ditimbulkan oleh larva C. cramerella berupa rusaknya biji, mengeriputnya biji dan timbulnya warna gelap pada kulit biji. ImagoC. cramerella meletakkan telurnya pada buah kakao yang berukuran panjang lebih besar dari 5 cm (Anonim, 2003). Telur diletakkan satu persatu pada alur buah kakao. Telur yang menetas menjadi larva tersebut akan bergerak dan mulai membuat lubang ke dalam kulit selanjutnya masuk ke dalam buah kakao. Lubang gerekan berada tepat di bawah tempat meletakkan telur. Selanjutnya akan menggerek daging buah diantara biji dan plasenta (Suparno, 1999).
Pada buah muda yang terserang gejala tampak pada permukaan kulitnya bercak-bercak besar berwarna kuning. Jika buah yang menunjukkan gejala tersebut dibelah, tampak alur sepanjang plasenta ke biji berwarna cokelat akibat serangan larva, sedangkan daging buahnya masih tetap berwarna putih. Pada serangan berat, bagian dalam buah berwarna cokelat kehitaman. Apabila buah muda terserang, masih dapat berkembang menjadi buah dewasa namun pada permukaan kulit luar buah tampak besar berwarna kuning, sedangkan bagian lainnya tetap berwarna hijau atau merah tergantung jenis kakaonya. Jika buah tersebut dibelah akan terlihat jalur-jalur gerekan larva dan daging buah berwarna kecoklatan, pertumbuhan biji terganggu, dan biji melekat satu sama lainnya. Jika buah terserang C. cramerella maka buah menjadi kering dan pulp mengeras (Suparno, 1999).
Pada buah menjelang matang dan pada klon kakao dengan kulit buah berwarna merah, gejala serangan tampak ada bercak-bercak berwarna orange, apabila buah menjelang matang dengan kulit berwarna hijau, akan tampak bercak berwarna kuning hingga orange. Jika buah tersebut dipetik terasa berat dan apabila diguncang tidak terdengar adanya gerekan biji (Siregar et al., 1994). Jika buah tersebut dibelah maka terlihat daging buah berwarna cokelat kehitaman sampai hitam, biji saling melekat dan apabila diproses lebih lanjut biji akan menjadi keriput karena biji tidak berisi sempurna (Anonim, 2004).
Tanaman Inang Lain
PBK adalah “ras biologi” dan telah berhasil beradaptasi pada buah kakao setelah memisah dari populasi asalnya yang hidup pada buah rambutan (Nephelium lappaceum). Hal ini didasari dari serangkaian penelitian yang telah dilakukan sejak tahun 1900-1950 oleh Zehnter dan kawan-kawan dan beberapa hasil penelitian yang lain. Hasil-hasil penelitian tersebut memberi informasi bahwa penggerek buah yang serupa dengan PBK yang hidup pada buah rambutan, mangga (Mangifera indica L.), serikaya (Anona squamosa L.), belimbing (Averhoa carambola L.), duku atau langsat (Lansium domesticum L.), nangka (Artocarpus integraMerr.), dan jeruk (Citrus sinensis L.) (Zehnter, 1901). Tanaman lain yang juga sebagai inang hama tersebut antara lain adalah kola (Cola nitida) dan nam-nam (Cynometra cauliflora) (Roepke, 1917), kasai (Pometia pinnata), pulasan (Nephelium mutabile) (Ooi, 1986), serta matakucing (Nephelium malaiense)(Depparaba, 2002).
Pengendalian
Beberapa pengendalian yang bisa dilakukan untuk mencegah serangan hama penggerek buah kakao C. cramerella yaitu :
Penen sering adalah melakukan panen buah kakao yang telah memperlihatkan siap panen (warna kekuningan atau buah kakao tua). Panen awal ini diharapkan akan memperpendek masa perkembangan larva PBK di buah kakao (BPTP, 2004). Untuk menurunkan jumlah PBK, sebaikknya semua buah yang sudah masak atau masak awal di panenseminggu sekali. Cara ini menghindari perpanjangan perkembangan atau daur hidup PBK di kebun (Hindayana et al., 2002).
Sanitasi diperlukan untuk mematikan PBK yang ada di dalam buah yang sudah panen. Jika tidak dimatikan, PBK tersebut dapat berkembangbiak dan menyerang buah yang masih ada di pohon. Sanitasi dilakukan dengan cara membersihkan areal kebun dari daun-daun kering, tanaman tidak sehat, ranting kering, kulit buah maupun gulma yang ada disekitar tanaman. Keadaan ini akan menciptakan suatu kondisi yang tidak sesuai dengan lingkungan untuk perkembangbiakan hama PBK (Hase, 2006). Setelah buah dipanen seluruhnya dibelah, kulit buah dimasukkan ke dalam lubang dan ditutup dengan tanah atau dengan plastik untuk membunuh larva yang masih ada atau hidup pada buah. Jika tidak segera dikerjakan simpanlah buah dalam karung plastik yang diikat rapat. Cara tersebut mencegah PBK keluar dan menyerang buah yang belum masak di pohon (Hindayana et al., 2002).
Pemangkasan adalah pemotongan cabang atau ranting atau ranting tanaman serta tanaman naungan agar tanaman kakao tidak terlalu rimbun. Tanaman kakao yang terlalu rimbun, mengakibatkan kelembaban cukup tinggi sehingga baik untuk perkembangbiakan serangga hama PBK. Pemangkasan diharapkan masuknya sinar matahari diantara tanaman kakao sekitar 60% (BPTP, 2004). Pemangkasan berfungsi untuk mengatur tajuk tanaman, sehingga kanopinya tidak terlalu rindang. Kondisi kanopi yang rindang sangat kondusif bagi pertumbuhan hama PBK. Salah satu kelemahan hama PBK adalah tidak menyukai sinar matahari langsung. Sehingga bila dilakukan pemangkasan yang sering dan teratur akan dapat menekan populasi karena pendistribusian sinar matari pada bagian tanaman maupun areal kebun menjadi merata (Hase, 2006).
Ketersediaan unsur hara berkaitan erat dengan pertumbuhan dan produktifitas yang optimal, maka pengendalian hama bisa dilakukan dengan cara memberikan pupuk yang cukup. Terpenuhinya unsur hara yang dibutuhkan tanaman akan memperlancar proses metabolisme tanaman. Lancarnya proses tersebut akan mempercepat masaknya buah, sehingga akan mengurangi tingkat kerusakan buah dan memungkinkan frekuensi panen lebih sering. Disamping itu, pertumbuhan tanaman yang optimal akan mempengaruhi daya tahan tanaman terhadap serangan hama PBK meskipun pengaruhnya tidak begitu besar (Hase, 2006). Dampak utama pemupukan terhadap tanaman kakao adalah merangsang pertumbuhan yang baik. Dampak ini meningkatkan ketahanan kakao terhadap serangan PBK. Proses pemupukan yang benar dengan memperhatikan dosis, jenis, cara, waktu, dan tempat (Hindayana et al., 2002).
Sistem rampasan dilakukan dengan cara merampas atau memetik semua buah kakao yang ada dipohon agar siklus hidup PBK terputus. Menurut Susanto (2004), tujuan sistem rampasan adalah menghilangkan sember hama atau menekan populasi serangga untuk sementara waktu, sebab dengan cara ini hama tidak memperoleh makanan. Dengan demikian PBK itu hanya terbang sekitar tanaman tanpa bisa menemukan tempat untuk meletakkan telur. Akhirnya PBK itu akan mati tanpa bisa meninggalkan keturunan. Adapun saat yang tepat untuk melakukan perampasan adalah setelah panen raya (Hase, 2006).
Kondomisasi adalah memberikan selubung perlindungan terhadap buah kakao. Selubungnya dapat menggunakan kantong plastik yang ujung bagian atasnya diikatkan pada tangkai buah, sedangkan ujung buah tetap terbuka. Dengan penyelubungna buah tersebut, hama tidak bisa meletakkan telurnya pada kulit buah sehingga buah akan terhindar dari gerekan larva (Hase, 2006). Kondomisasi merupakan salah satu metode baru yang paling efektif dan efiisien di dalam pengendalian hama PBK serta dapat meningkatkan mutu serta kesuburan buah kakao. Kondomisasi dilakukan dengan memasangkan plastik selubung pada buah kakao secara satu persatu dengan menggunakan plastik transparan pada buah yang berukuran antara 2-3 bulan atau panjang buah telah mencapai 5-8 cm (Salahuddin, 2003).
Pengendalian dengan menggunakan musuh-musuh alami sangat berperanan dalam mengatur populasi PBK di lapangan, seperti penerapan parasitoid, entomopatogen dan predator. Hal ini didasari dari penelitian yang dilakukan oleh Nuraryati (2006) bahwa hasil identifikasi cendawan yang ditemukan menginfeksi pupa PBK yaitu terdapat tiga jenis, masing-masing Beauveria bassiana Vuill., Aspergillus sp. danPenicillium sp. Hal tersebut didasarkan pada ciri-ciri morfologi cendawan yang telah dimurnikan setelah diisolasi dari pupa PBK yang mati. Pupa PBK yang terinfeksi oleh cendawan Penicillium sp. nampak berwarna kehijauan. Konidiofornya hialin yang berdinding kasar atau halus. Ketiga jenis cendawan entomopatogen mampu meenginfeksi pupa PBK karena adanya toksin yang dihasilkan oleh masing-masing cendawan.
Cendawan Entomopatogen
Cendawan entomopatogen merupakan salah satu jenis bioinsektisida yang dapat digunakan untuk mengendalikan hama tanaman. Terdapat enam kelompok mikroorganisme yang dapat dimanfaatkan sebagai bioinsektisida adalah Cendawan, bakteri, virus, nematoda, protozoa, dan ricketsia (Santoso 1993). Kelompok serangga yang paling sering terserang oleh cendawan entomopatogen adalah kelompok atau ordo Hemiptera, Diptera, Coleoptera, Lepidoptera, Orthoptera dan Hymenoptera (Tanada dan Kaya, 1993 dalam Melina 1997).
Beberapa jenis cendawan mempunyai kisaran inang yang luas sedangkan yang lainnya hanya menginfeksi beberapa spesies serangga. Spesifikasi inang berkaitan erat dengan sifat – sifat integumen serangga, kebutuhan nutrisi cendawan dan pertahanan selluler serangga inang (Tanada dan Kaya, 1993 dalam Melina 1997).
Berbeda halnya dengan bakteri dan virus yang harus termakan oleh serangga agar efektif, cendawan biasanya menginfeksi serangga melalui kutikula. Kematian serangga terjadi karena rusaknya jaringan – jaringan tubuh serangga dan kadangkala oleh adanya toksin yang dihasilkan oleh cendawan. Larva yang terinfeksi cendawan pada umumnya menjadi lemah dan tidak aktif, dua atau tiga hari kemudian mengalami kematian, dan tubuhnya ditumbuhi oleh miselium cendawan (Melina, 1997). Pada umumnya semua cairan tubuh serangga habis digunakan oleh cendawan, sehingga menyebabkan serangga mati dengan tubuh yang mengeras seperti mummi (Santoso, 1993).
Hasil penelitian Sulistyowati (2002), di Maluku menunjukkan adanya cendawan entomopatogen pada PBK seperti Beauveria bassiana Vuill., Spicariasp., Fusarium sp., Verticillium sp., Acrostalagmus sp., dan Penicillium sp. Sementara itu di Sulawesi Selatan, Nurariaty (2006) melaporkan bahwa cendawan entomopatogen yang ditemukan pada pupa PBK adalah B. bassianaAspergillussp., Gliocephalis sp., Fusarium sp., dan Penicillium sp. dan telah dilaporkan bahwa secara alami peranan cendawan-cendawan tersebut masih rendah.
Fusarium sp. sebagai Cendawan Entomopatogen yang Mematikan Pupa PBK
Di Indonesia, pemanfaatan agen hayati khususnya cendawan entomopatogen
untuk pengendalian hama mulai berkembang pesat sejak abad ke-19 khususnya untuk mengendalikan hama pada tanaman perkebunan (Sudarmadji et al., 1994; Junianto 2000).
Penggunaan agens hayati cendawan entomopatogen merupakan suatu upaya untuk mengurangi penggunaan pestisida sintetik yang selama ini banyak menyebabkan masalah lingkungan, dan diharapkan dapat menjadi suatu solusi disamping dapat menggali potensi sumber daya hayati lokal yang diperkirakan keberadaannya berlimpah di alam Indonesia. Menurut Boucias dan Pendland (1998) tingkat patogenisitas masing-masing spesies Aspergilus, Beauveria, Fusarium dan Metarhizium yang termasuk ke dalam Kingdom Mychota, Filum Deuteromycota, Kelas Hypomycetes dan Ordo Hypocreales ditentukan oleh interaksi berbagai faktor seperti jenis inang, metode aplikasi dan faktor lingkungan. Adapun kemampuan dasarnya ditentukan oleh spesies cendawan itu sendiri yang dapat menyebabkan kematian inang dengan cepat atau sebaliknya (Desyanti et al.,2007).
Kingdom : Fungi, Subkingdom : DikaryaPhylum: Deuteromycota, Subphylum :PezizomycotinaClass : Hyphomycetes, Order : HypocrealesFamily :NectriaceaeGenus : Fusarium.
Cendawan Fusarium merupakan salah satu jenis cendawan hypomycetes yang telah dilaporkan sebagai salah satu cendawan entomopatogen. Ada beberapa spesiesnya yang diketahui dapat menyerang serangga, Fusarium moniforme tidak hanya menyerang tanaman, tetapi dapat pula menginfeksi serangga. CendawanFusarium menghasilkan fusaric acid dan pigmen Naphtazarin yang bersifat insektisidal. Mikotoksin ini diketahui dapat menghambat beberapa reaksi enziumatik. Selain itu ada spesies Fusarium yang dapat menginfeksi serangga-serangga scale insect yaitu Fusarium lateritium (Tanada dan Kaya, 1993 dalamMelina 1997).
Hifa dari Fusarium bersepta dan menghasilkan dua buah bentuk konidia yang hialin, yaitu mikrokonidium dan makrokonidium. Mikrokonidium yang bersel satu berbentuk bulat telur atau lonjong dan terbentuk secara tunggal atau berangkai sedangkan makrokonidium biasanya bersel banyak dan bersepta. Kedua ujungnya meruncing dan membengkok sehingga menyerupai bulan sabit atau sampan. Bila keadaan tidak menguntungkan, cendawan akan membentuk klamidiospora yang terbentuk secara tunggal atau berpasangan pada posisi terminal (Kranz et al.,1997 dalam Melina, 1997).