Showing posts with label Penyakit. Show all posts
Showing posts with label Penyakit. Show all posts

Friday, April 1, 2011

Penyakit Ganggang Pirang Pada Tanaman Lada

PENYAKIT GANGGANG PIRANG PADA TANAMAN LADA
Penyakit ganggang pirang adalah sebutan petani lada di Kalimantan Barat karena cabang atau ranting tanaman lada berwarna keperakan. Penyakit ini mulai dirasakan mengganggu petani sejak tahun 2002, yaitu setelah terjadinya krisis moneter dimana harga lada bisa mencapai Rp. 75.000,- – Rp.90.000,- per kilogram. Pada saat itu terjadi booming penanaman lada di Kalimantan Barat. Petani juga sangat memperhatikan tanaman ladanya sehingga memberikan pupuk melebihi rekomendasi yang telah diberikan (over dosis).
Seperti yang terjadi di Desa Ambawang Kuala, Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Pontianak, dari jumlah tanaman lada 680 pohon yang berumur sekitar 7 tahun, semuanya terserang penyakit. Ini membuat petani heran, beberapa saat setelah dipupuk tanaman lada kelihatan sangat subur dan menghijau, tetapi lama-kelamaan akan timbul penyakit ini. Dari Informasi yang diperoleh dari petani adalah bahwa petani banyak menggunakan pupuk N untuk kesuburan tanaman ladanya. ”Pemupukan N yang berlebihan ditambah dengan lapisan top soil hanya sekitar 15 cm menyebabkan kondisi tanaman lemah (batangnya lunak) sehingga disukai oleh hama penggerek batang lada (Lophobaris piperis) ”kata pakar penyakit dari UGM Prof. Dr. Bambang Hadisutrisno, DAA Serangga ini membuat lubang gerekan dan mengeluarkan sekresi yang manis sehingga jamur Septobasidium bogoriensis yang memang sudah ada di udara terbuka menempel pada cabang/ranting juga pada serangga.
Jamur Septobasidium epifitik terutama pada tanaman berkayu, dan parasitik pada serangga dan mengabsorbsi nutrien serangga dengan haustoria. Larva yang terparasit jamur tidak segera mati, menembus cabang lada membuat lubang atau terowongan di dalam cabang atau batang lada. Selanjutnya jamur Septobasidium berkembang dan mencapai permukaan, membentuk koloni berwarna kecoklatan mengelilingi batang atau cabang lada yang menyerupai lichenes. Warna kecoklatan ini oleh masyarakat disebut pirang, dan karena mirip lichenes maka disebut ganggang. ”Penyebab penyakit ini
sebenarnya sudah ada sejak dulu dan diketahui menyerang tanaman teh dan karet. tetapi pada kedua komoditi ini bukan sebagai OPT penting sehingga petani tidak melakukan pengendalian, tetapi karena berbagai faktor pendukung yang menyertai sehingga menjadi OPT penting untuk tanaman lada di Kalimantan Barat.” Lanjut Prof. Dr. Bambang Hadisutrisno, DAA. Penderitaan tanaman lada semakin lengkap dengan adanya tajar hidup berupa tanaman karet yang mendukung penyebaran penyakit ini.Tajar dari tanaman karet dimaksudkan bahwa apabila tanaman lada sudah tidak produktif lagi, maka tanaman karet bisa disadap sebagai sumber pendapatan petani. Dari hasil diskusi petani dengan Prof. Dr. Bambang Hadisutrisno, DAA, petugas lapangan dan BPPT Pontianak bahwa untuk pencegahan dan pengendalian jamur ganggang pirang ini dapat dilakukan dengan cara:
  • -       Pupuk N dikurangi pemakaiannya, dan dilakukan pemupukan berimbang sesuai dosis anjuran.
  • -       Penggunaan pupuk bokashi sangat dianjurkan karena struktur tanah lempung dan lapisan top soil yang tipis.
  • -       Untuk perluasan atau penanaman baru disarankan untuk menggunakan tajar dari pohon dadap cangkring, gamal, glerisidae (asal jangan tanaman bergetah). – Perlu segera dilakukan pengendalian, untuk serangan ringan dengan mengoleskan larutan kapur encer, sedangkan untuk serangan sedang menggunakan bubur kalifornia (campuran kapur dan belerang).
  • -       Disarankan untuk tidak menggunakan bubur bordo karena merupakan fungisida sistemik sehingga kandungan Cu yang ada dikhawatirkan mempengaruhi buah yang dihasilkan (berhubungan dengan pasar global). – Sanitasi, dengan membuang cabang/ranting yang telah mati kemudian membakarnya. Cara pembuatan bubur kalifornia: – Belerang 100 gram dilarutkan dalam 5 liter air – 100 gram kapur tohor dilarutkan pada 5 liter air di dalam wadah plastik/ tidak terbuat dari logam – Selanjutnya larutan belerang dimasukkan ke dalam larutan kapur tohor sedikit demi sedikit sambil diaduk sampai merata – Siap untuk dioleskan ke cabang/ranting.

Selama kurang lebih lima tahun terakhir, petani lada di Provinsi Kalimantan Barat menghadapi persoalan yang bagi mereka benar-benar baru, yaitu serangan sejenis penyakit. Setelah diamati di lapangan dan diteliti di laboratorium bersama-sama dengan pakar penyakit tanaman dari UGM, ternyata penyakit tersebut disebabkan oleh jamur (ganggang pirang) dengan nama ilmiah Septobasidium bogoriensis.
Lada atau lebih dikenal dengan sebutan merica dibutuhkan oleh hampir semua ibu-ibu rumah tangga sebagai bahan bumbu masak (penyedap makanan). Lada juga digunakan sebagai bahan baku obat.
Di negara beriklim dingin seperti Eropa, lada sangat diperlukan untuk menambah kehangatan tubuh. Masih banyak lagi manfaat dari lada terutama untuk industri farmasi karena mengandung zat yang bersifat antibiotik.
Dari segi ekonomi, banyak petani yang menjadikan lada sebagai sumber penghasilan utamanya, misalnya di Provinsi Lampung, Sumsel, Babel, Kalbar dan beberapa provinsi lainnya di Indonesia.
Melihat peranan lada yang sedemikian penting, maka bila tanaman lada sakit dapat menyebabkan penghasilan petani lada berkurang dan tidak terpenuhinya permintaan pasar.
Selama kurang lebih lima tahun terakhir, petani lada di Provinsi Kalimantan Barat menghadapi persoalan yang bagi mereka benar-benar baru, yaitu serangan sejenis penyakit. Setelah diamati di lapangan dan diteliti di laboratorium bersama-sama dengan pakar penyakit tanaman dari UGM, ternyata penyakit tersebut disebabkan oleh jamur (ganggang pirang) dengan nama ilmiah Septobasidium bogoriensis.
Terjadinya serangan jamur ini adalah akibat tananam terlalu banyak dipupuk N sehingga penggerek batang mudah masuk kedalam cabang/ranting. Kotoran hama yang manis menyebabkan jamur Septobasidium sp yang sudah ada di udara terbuka akan mudah menempel pada cabang/ranting, dilanjutkan dengan tumbuhnya ganggang.
Simbiose dari jamur dan ganggang menghasilkan warna pirang. Pada lingkungan yang cocok jamur cepat berkembang sehingga ranting akan lebih cepat mati.
Pada tahun 2009 ada 10.500 Ha kebun lada rakyat di Provinsi Kalimantan dan produksinya mencapai 4.745 ton atau rata-raat produksi 885 kg/Ha. Budidaya lada di daerah ini melibatkan 21.748 KK petani yang tersebar di beberapa lokasi, seperti Kabupaten Singkawang, Bengkayang, Pontianak, Sintang, dan Sekadau. Petugas lapangan melaporkan, bahwa penyakit ganggang pirang telah menyerang 519 Ha pertanaman lada, dengan serangan terluas di Kabu Singkawang, yaitu 164 Ha.
Penyakit ganggang pirang ini sangat merugikan petani karena dapat menyebabkan kematian cabang-cabang produksi, akibatnya pertumbuhan terhambat dan bisa menurunkan hasil sekitar 20%. Adakalanya serangan terjadi pada sulur panjat yang ditandai dengan terdapatnya lapisan jamur berwarna pirang. Bila harga lada mencapai Rp. 30.000 per kg, ini berarti bahwa petani dapat mengalami kerugian sebesar Rp. 5 juta per Ha.
Kerugian tersebut membuat berang para petani lada di Provinsi Kalimantan Barat. Mereka sudah berupaya mengendalikan, akan tetapi belum berhasil. Melihat persoalan yang dihadapi petani lada ini, maka Ditjen Perkebunan melalui Balai Proteksi Tanaman Perkebunan (BPTP) yang terletak di Siantan, Pontianak secara terus menerus melakukan pembinaan kepada petani seperti pelatiahan pengendalian hama terpadu dengan pendekatan Sekolah Lapang (SL-PHT). Bersamaan dengan itu, dilakukan juga pengujian berbagai teknologi pengendalian penyakit ganggang pirang.
Untuk mengatasi serangan penyakit gangang pirang, petani dapat melakukan pencehagan dan pengendalian.
Pencegahan dapat dilakukan dengan :

  • -       Merawat tanaman dengan pemberian pupuk yang seimbang sesuai dengan dosis dan umur tanaman (kurangi pemakaian pupuk N). Dianjurkan agar petani menggunakan pupuk organik (Bokashi) strutktur tanah pada pertanaman lada di Kalimantan Barat umumunya lempung dengan lapisan atas tanah (top soil) yang tipis.
  • -       Melakukan sanitasi agar kebersihan kebun tetap terpelihara dan memangkas sulur-sulur tanaman yang tidak produktif.
  • -       Bila melakukan perluasan atau penanaman baru disarankan untuk menggunakan tajar dari pohon dadap cangkring dan gamal (asal jangan tanaman bergetah).
Pengendalian penyakit ganggang pirang dapat dilakukan dengan cara:

  • -       Bila tanaman terserang ringan, segera oleskan larutan kapur encer. Bila tingkat serangan sedang, gunakan Bubur Kalifornia (campuran kapur dan belerang). Bubur Kalifornia dibuat dengan cara melarutkan 100 gr Belerang dalam 5 liter air. Sebanyak 100 gram Kapur Tohor dilarutkan dalam 5 liter air di dalam wadah plastik (tidak terbuat dari logam). Selanjutnya larutan Belerang dimasukkan ke dalam larutan Kapur Tohor sedikit demi sedikit sambil diaduk sampai merata dan siap untuk dioleskan ke cabang/ranting yang sakit. Disarankan untuk tidak menggunakan Bubur Bordo karena kandungan Cu yang ada dikhawatirkan dapat mempengaruhi mutu buah yang dihasilkan (berhubungan dengan pasar global).
  • -       Melakukan sanitasi kebun dengan membuang semua cabang/ranting yang telah mati kemudian dimusnahkan.
  • -       Memangkas secara selektif yaitu dengan mengurangi dan memotong ranting-ranting terserang.
  • -       Penyemprotan fungisida sistemik yang berbahan aktif dinikonasol 2,5 gram/liter air dengan interval waktu 2 minggu sekali.

Thursday, December 9, 2010

Inventarisasi OPT pada pembibitan karet di Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Pontianak Provinsi Kalimantan Barat pada Tahun 2009

Oleh :
Erwin Irawan Permana 
Staf LL BPTP Pontianak

Dari hasil inventarisasi organisme pengganggu tumbuhan (OPT) pada pembibitan karet di Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Pontianak Provinsi Kalimantan Barat pada Tahun 2009 diperoleh hasil sebagai berikut :
Hasil inventarisasi OPT pada pembibitan karet di Kabupaten Sanggau dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Inventarisasi OPT pada Pembibitan Karet di Kabupaten Sanggau  





























Dari tabel hasil inventarisasi OPT pembibitan karet di Kabupaten Sanggau yang dilakukan di wilayah binaan UPPT Parindu, UPPT Sanggau Kapuas, UPPT Batang Tarang, dan UPPT Beduai dengan luas hamparan 45 hektar. Dapat ditunjukkan bahwa OPT pada pembibitan karet yang menyebar dan diurutkan menurut dominasinya adalah :
  1. Penyakit Gugur Daun Karet (GDK) yang disebabkan oleh pathogen Colletotrichum gloesporioides
  2. Penyakit Jamur Akar Putih (JAP) yang disebabkan oleh pathogen Rigidophorus lignisus
  3. Penyakit embun tepung yang disebabkan oleh pathogen Oidium heveae   
  4. Hama Kutu yang diduga Saissetia nigra dan Kutu Lak (Laccifer greeni)
Hasil inventarisasi OPT pada pembibitan karet di Kabupaten Pontianak dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Inventarisasi OPT pada Pembibitan Karet di Kabupaten Pontianak

Dari tabel hasil inventarisasi OPT pada pembibitan karet di Kabupaten Pontianak yang dilakukan di wilayah binaan UPPT Toho dan UPPT Sungai Kunyit pada 12 penangkar dengan jumlah luas areal 38 hektar menunjukkan bahwa OPT yang menyebar dan paling dominan adalah:
  1. Penyakit Gugur Daun Karet (GDK) yang disebabkan oleh pathogen Colletotrichum gloeosporioides
  2. Penyakit embun tepung yang disebabkan oleh pathogen Oidium heveae
  3. Penyakit daun yang disebabkan oleh pathogen Helmintosporium sp
  4. Penyakit Jamur Akar Putih (JAP) yang disebabkan oleh pathogen Rigidophorus lignisus
  5. Hama Rayap

Erwin Irawan Permana. 2007. Inventory of Entomopathogenic fungi of B. tabaci Genn. (Homoptera:aleyrodidae) in Kecamatan Ciwidey. Under guidance of Sudarjat and Endah Yulia.

          The presence of B.  tabaci is a potential of pests on crop plants in Kecamatan Ciwidey that may cause economicals damage. The most outstanding feature of the species is its ability to adapt to a variety of host plants and to unfavourable environmental conditions. The objective of this research was to find potential fungus that pathogenic to B. tabaci in Kecamatan Ciwidey. This research was carried out from November 2006 to July 2007.

   The sample of this research were collect from three areas in Kecamatan Ciwidey (Panundaan, Lebakmuncang, Ciwidey). Isolation and Identification of the sample were taken at the Laboratory of Phytopathology, Departement of Plant Pests Science and Diseases, Faculty of Agriculture, Universitas Padjadjaran. Pathogenicity test of the isolated fungi were conducted both in laboratory and field experiment at the Panundaan area of Kecamatan Ciwidey.
 The result of this experiment showed that there were two pathogenic fungi, i.e., Paecilomyces species of Lebakmuncang and Panundaan isolate. The Paecilomyces sp. of Panundaan isolate infected B. tabaci both in the laboratory experiment and the field experiment. Meanwhile, Paecilomyces sp. of Lebakmuncang isolate infected only B. tabaci on the laboratory experiment.    

Wednesday, November 24, 2010

Exploration Of Biological Agents (Part 1)

Exploration of biological agents in severe pest of coconut beetle (Oryctes sp) in Segedong, Pontianak

By Erwin Irawan Permana
Technical staff of BPTP Pontianak


Based on reports from farmers that have occurred Oryctes sp attack is very severe, then the Staff of the Field Laboratory conduct on-site inspection in Segedong. 
Together with farmers, we have begun initial discussions about the attacks, control of which has been done, pesticides used, etc.
As we know that in circumstances of severe pest, the presence of natural enemies of the pest has the potential to be found. What we do is to look for active nests of the larvae of Oryctes sp and we hope to find the entomopathogenic fungus that causes the death of coconut beetle pests.
Coconut suffered by Oryctes sp

Searching finally found the results, from the nest coconut coir waste which has decayed, we found the coconut beetle larvae died allegedly caused by entomopathogenic fungi. Larvae are greenish and odorless, typical symptoms of fungal infection. 
On the other hand, we also found the larvae of Oryctes sp who allegedly died from baculovirus with rot symptoms in black and the stench spread.

Samples of larvae were dead, then we take it to a laboratory for examination and some testing. We did a test on the larvae of Oryctes sp who are still alive, which we took from the field. Larvae that we are testing with dipped in liquid derived from infected larvae the body part that we have mashed and add water.

Less than a week (exactly 5 days later), larvaes began to show symptoms of illness, start weak and do not do a lot of movement. After we let a few days later, larvaes that we are testing the dead with the same symptoms when we find Oryctes sp entomopathogenic fungus that infected and baculovirus.

Based on the testing we did then ascertained that the cause of death of the larva of Oryctes sp is the entomopathogenic fungus 
Metarrizhium spp and Baculovirus. This is reinforced by looking at these entomopathogenic fungi under a microscope. As for the baculovirus, there is no adequate tool for us to identify a microscope.

Hopefully helpful