Friday, September 30, 2011

feels like a monster inside

Dear God,
U know what I’ve been throught
U know all the things I’ve done
Please don’t let me be a monster
A monster for my faith
A monster for my idealism
Give me a clear sky so I can see what in front of me
Give me a crystal eye so I can read my heart clearly
This is my battle
Don’t let me loose in this war
Just You Allah

Pontianak, 2011

Wednesday, September 28, 2011

Cordyceps

Well, here they are entomopathogenic fungi that we found in West Borneos. This entomopathogenic fungi was found at Ketapang District in West Borneo. It attacks Fire Worm (Setothosea asigna) on Palm Plantation. What we seen on the picture are the pupae of Fire Worm that suffered from the attacks of Cordycep sp.   

 
Cordyceps is a genus of ascomycete fungi (sac fungi) that includes about 400 described species. All Cordyceps species are endoparasitoids, mainly on insects and other arthropods (they are thus entomopathogenic fungi); a few are parasitic on other fungi. The best known species of the genus is Cordyceps sinensis,[1] first recorded as yartsa gunbu in Tibet in the 15th Century.[2] It is known as yartsa gumba in Nepal. The Latin etymology describes cord as club, ceps as head, and sinensis as Chinese. Cordyceps sinensis, known in English commonly as caterpillar fungus, is considered a medicinal mushroom in oriental medicines, such as Traditional Chinese medicines[3] and Traditional Tibetan medicine.
When a Cordyceps fungus attacks a host, the mycelium invades and eventually replaces the host tissue, while the elongated fruiting body (stroma) may be cylindrical, branched, or of complex shape. The stroma bears many small, flask-shaped perithecia contain the asci. These in turn contain the thread-like ascospores, which usually break into fragments and are presumably infective.
Some Cordyceps species are able to affect the behavior of their insect host: Cordyceps unilateralis causes ants to climb a plant and attach there before they die. This ensures the parasite's environment is at an optimal temperature and humidity and maximal distribution of the spores from the fruiting body that sprouts out of the dead insect is achieved.[4] Marks have been found on fossilised leaves which suggest this ability to modify the host's behaviour evolved more than 48 million years ago.[5]
The genus has a worldwide distribution and most of the approximately 400 species[6] have been described from Asia (notably Nepal, China, Japan, Korea and Thailand). Cordyceps species are particularly abundant and diverse in humid temperate and tropical forests.
The genus has many anamorphs (asexual states), of which Beauveria (possibly including Beauveria bassiana, Metarhizium, and Isaria) are the better known, since these have been used in biological control of insect pests.
Some Cordyceps species are sources of biochemicals with interesting biological and pharmacological properties,[7] like cordycepin; the anamorph of Cordyceps subsessilis (Tolypocladium inflatum) was the source of ciclosporin—a drug helpful in human organ transplants, as it suppresses the immune system (Immunosuppressive drug).[8]


Kingdom:
Subkingdom:
Phylum:
Subphylum:
Class:
Subclass:
Order:
Family:
Genus:
Cordyceps

There's a lot of potential entomopathogen that we've been found in West Borneo, For sharing and discussion please send me a message at erwin_permana@yahoo.com

Does it biological control effective for controlling pests ?


This question just flew in to my mind when I heard my seniors opinion about the effectiveness of Metharizium sp to decrease the population of Oryctes sp on coconut in west borneos. He claims that Metharizium sp just work good for controlling Oryctes sp without any other agents involve. I don’t know what’s the reason?
In my opinion that maybe different from my seniors, I should say Im sorry but your explanation doesn’t fit me. I think they just brought the concepts of single control management with an agent from biological controls. Using the same biological control agent all the time without concerning of others biological agents I think it will have effects.
The concepts of Biological control of pests is a method of controlling pests (including insects, mites, weeds and plant diseases) that relies on predation, parasitism, herbivory, or other natural mechanisms. It can be an important component of integrated pest management (IPM) programs (wikipedia).
So, combining of several control methods is the most important things that we have to do if we want to make an integrated pest management (IPM) works. Knowing the concepts is the first thing we have to do before we practice anything.
So, to all my friends, lets learn more about the concepts, lets read more and then we practice it. Like this motto “Practices makes Perfect”
So, what the answer of the title? I think let everybody have their opinion but always based on the concepts Ok!

Friday, April 1, 2011

Penyakit Ganggang Pirang Pada Tanaman Lada

PENYAKIT GANGGANG PIRANG PADA TANAMAN LADA
Penyakit ganggang pirang adalah sebutan petani lada di Kalimantan Barat karena cabang atau ranting tanaman lada berwarna keperakan. Penyakit ini mulai dirasakan mengganggu petani sejak tahun 2002, yaitu setelah terjadinya krisis moneter dimana harga lada bisa mencapai Rp. 75.000,- – Rp.90.000,- per kilogram. Pada saat itu terjadi booming penanaman lada di Kalimantan Barat. Petani juga sangat memperhatikan tanaman ladanya sehingga memberikan pupuk melebihi rekomendasi yang telah diberikan (over dosis).
Seperti yang terjadi di Desa Ambawang Kuala, Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Pontianak, dari jumlah tanaman lada 680 pohon yang berumur sekitar 7 tahun, semuanya terserang penyakit. Ini membuat petani heran, beberapa saat setelah dipupuk tanaman lada kelihatan sangat subur dan menghijau, tetapi lama-kelamaan akan timbul penyakit ini. Dari Informasi yang diperoleh dari petani adalah bahwa petani banyak menggunakan pupuk N untuk kesuburan tanaman ladanya. ”Pemupukan N yang berlebihan ditambah dengan lapisan top soil hanya sekitar 15 cm menyebabkan kondisi tanaman lemah (batangnya lunak) sehingga disukai oleh hama penggerek batang lada (Lophobaris piperis) ”kata pakar penyakit dari UGM Prof. Dr. Bambang Hadisutrisno, DAA Serangga ini membuat lubang gerekan dan mengeluarkan sekresi yang manis sehingga jamur Septobasidium bogoriensis yang memang sudah ada di udara terbuka menempel pada cabang/ranting juga pada serangga.
Jamur Septobasidium epifitik terutama pada tanaman berkayu, dan parasitik pada serangga dan mengabsorbsi nutrien serangga dengan haustoria. Larva yang terparasit jamur tidak segera mati, menembus cabang lada membuat lubang atau terowongan di dalam cabang atau batang lada. Selanjutnya jamur Septobasidium berkembang dan mencapai permukaan, membentuk koloni berwarna kecoklatan mengelilingi batang atau cabang lada yang menyerupai lichenes. Warna kecoklatan ini oleh masyarakat disebut pirang, dan karena mirip lichenes maka disebut ganggang. ”Penyebab penyakit ini
sebenarnya sudah ada sejak dulu dan diketahui menyerang tanaman teh dan karet. tetapi pada kedua komoditi ini bukan sebagai OPT penting sehingga petani tidak melakukan pengendalian, tetapi karena berbagai faktor pendukung yang menyertai sehingga menjadi OPT penting untuk tanaman lada di Kalimantan Barat.” Lanjut Prof. Dr. Bambang Hadisutrisno, DAA. Penderitaan tanaman lada semakin lengkap dengan adanya tajar hidup berupa tanaman karet yang mendukung penyebaran penyakit ini.Tajar dari tanaman karet dimaksudkan bahwa apabila tanaman lada sudah tidak produktif lagi, maka tanaman karet bisa disadap sebagai sumber pendapatan petani. Dari hasil diskusi petani dengan Prof. Dr. Bambang Hadisutrisno, DAA, petugas lapangan dan BPPT Pontianak bahwa untuk pencegahan dan pengendalian jamur ganggang pirang ini dapat dilakukan dengan cara:
  • -       Pupuk N dikurangi pemakaiannya, dan dilakukan pemupukan berimbang sesuai dosis anjuran.
  • -       Penggunaan pupuk bokashi sangat dianjurkan karena struktur tanah lempung dan lapisan top soil yang tipis.
  • -       Untuk perluasan atau penanaman baru disarankan untuk menggunakan tajar dari pohon dadap cangkring, gamal, glerisidae (asal jangan tanaman bergetah). – Perlu segera dilakukan pengendalian, untuk serangan ringan dengan mengoleskan larutan kapur encer, sedangkan untuk serangan sedang menggunakan bubur kalifornia (campuran kapur dan belerang).
  • -       Disarankan untuk tidak menggunakan bubur bordo karena merupakan fungisida sistemik sehingga kandungan Cu yang ada dikhawatirkan mempengaruhi buah yang dihasilkan (berhubungan dengan pasar global). – Sanitasi, dengan membuang cabang/ranting yang telah mati kemudian membakarnya. Cara pembuatan bubur kalifornia: – Belerang 100 gram dilarutkan dalam 5 liter air – 100 gram kapur tohor dilarutkan pada 5 liter air di dalam wadah plastik/ tidak terbuat dari logam – Selanjutnya larutan belerang dimasukkan ke dalam larutan kapur tohor sedikit demi sedikit sambil diaduk sampai merata – Siap untuk dioleskan ke cabang/ranting.

Selama kurang lebih lima tahun terakhir, petani lada di Provinsi Kalimantan Barat menghadapi persoalan yang bagi mereka benar-benar baru, yaitu serangan sejenis penyakit. Setelah diamati di lapangan dan diteliti di laboratorium bersama-sama dengan pakar penyakit tanaman dari UGM, ternyata penyakit tersebut disebabkan oleh jamur (ganggang pirang) dengan nama ilmiah Septobasidium bogoriensis.
Lada atau lebih dikenal dengan sebutan merica dibutuhkan oleh hampir semua ibu-ibu rumah tangga sebagai bahan bumbu masak (penyedap makanan). Lada juga digunakan sebagai bahan baku obat.
Di negara beriklim dingin seperti Eropa, lada sangat diperlukan untuk menambah kehangatan tubuh. Masih banyak lagi manfaat dari lada terutama untuk industri farmasi karena mengandung zat yang bersifat antibiotik.
Dari segi ekonomi, banyak petani yang menjadikan lada sebagai sumber penghasilan utamanya, misalnya di Provinsi Lampung, Sumsel, Babel, Kalbar dan beberapa provinsi lainnya di Indonesia.
Melihat peranan lada yang sedemikian penting, maka bila tanaman lada sakit dapat menyebabkan penghasilan petani lada berkurang dan tidak terpenuhinya permintaan pasar.
Selama kurang lebih lima tahun terakhir, petani lada di Provinsi Kalimantan Barat menghadapi persoalan yang bagi mereka benar-benar baru, yaitu serangan sejenis penyakit. Setelah diamati di lapangan dan diteliti di laboratorium bersama-sama dengan pakar penyakit tanaman dari UGM, ternyata penyakit tersebut disebabkan oleh jamur (ganggang pirang) dengan nama ilmiah Septobasidium bogoriensis.
Terjadinya serangan jamur ini adalah akibat tananam terlalu banyak dipupuk N sehingga penggerek batang mudah masuk kedalam cabang/ranting. Kotoran hama yang manis menyebabkan jamur Septobasidium sp yang sudah ada di udara terbuka akan mudah menempel pada cabang/ranting, dilanjutkan dengan tumbuhnya ganggang.
Simbiose dari jamur dan ganggang menghasilkan warna pirang. Pada lingkungan yang cocok jamur cepat berkembang sehingga ranting akan lebih cepat mati.
Pada tahun 2009 ada 10.500 Ha kebun lada rakyat di Provinsi Kalimantan dan produksinya mencapai 4.745 ton atau rata-raat produksi 885 kg/Ha. Budidaya lada di daerah ini melibatkan 21.748 KK petani yang tersebar di beberapa lokasi, seperti Kabupaten Singkawang, Bengkayang, Pontianak, Sintang, dan Sekadau. Petugas lapangan melaporkan, bahwa penyakit ganggang pirang telah menyerang 519 Ha pertanaman lada, dengan serangan terluas di Kabu Singkawang, yaitu 164 Ha.
Penyakit ganggang pirang ini sangat merugikan petani karena dapat menyebabkan kematian cabang-cabang produksi, akibatnya pertumbuhan terhambat dan bisa menurunkan hasil sekitar 20%. Adakalanya serangan terjadi pada sulur panjat yang ditandai dengan terdapatnya lapisan jamur berwarna pirang. Bila harga lada mencapai Rp. 30.000 per kg, ini berarti bahwa petani dapat mengalami kerugian sebesar Rp. 5 juta per Ha.
Kerugian tersebut membuat berang para petani lada di Provinsi Kalimantan Barat. Mereka sudah berupaya mengendalikan, akan tetapi belum berhasil. Melihat persoalan yang dihadapi petani lada ini, maka Ditjen Perkebunan melalui Balai Proteksi Tanaman Perkebunan (BPTP) yang terletak di Siantan, Pontianak secara terus menerus melakukan pembinaan kepada petani seperti pelatiahan pengendalian hama terpadu dengan pendekatan Sekolah Lapang (SL-PHT). Bersamaan dengan itu, dilakukan juga pengujian berbagai teknologi pengendalian penyakit ganggang pirang.
Untuk mengatasi serangan penyakit gangang pirang, petani dapat melakukan pencehagan dan pengendalian.
Pencegahan dapat dilakukan dengan :

  • -       Merawat tanaman dengan pemberian pupuk yang seimbang sesuai dengan dosis dan umur tanaman (kurangi pemakaian pupuk N). Dianjurkan agar petani menggunakan pupuk organik (Bokashi) strutktur tanah pada pertanaman lada di Kalimantan Barat umumunya lempung dengan lapisan atas tanah (top soil) yang tipis.
  • -       Melakukan sanitasi agar kebersihan kebun tetap terpelihara dan memangkas sulur-sulur tanaman yang tidak produktif.
  • -       Bila melakukan perluasan atau penanaman baru disarankan untuk menggunakan tajar dari pohon dadap cangkring dan gamal (asal jangan tanaman bergetah).
Pengendalian penyakit ganggang pirang dapat dilakukan dengan cara:

  • -       Bila tanaman terserang ringan, segera oleskan larutan kapur encer. Bila tingkat serangan sedang, gunakan Bubur Kalifornia (campuran kapur dan belerang). Bubur Kalifornia dibuat dengan cara melarutkan 100 gr Belerang dalam 5 liter air. Sebanyak 100 gram Kapur Tohor dilarutkan dalam 5 liter air di dalam wadah plastik (tidak terbuat dari logam). Selanjutnya larutan Belerang dimasukkan ke dalam larutan Kapur Tohor sedikit demi sedikit sambil diaduk sampai merata dan siap untuk dioleskan ke cabang/ranting yang sakit. Disarankan untuk tidak menggunakan Bubur Bordo karena kandungan Cu yang ada dikhawatirkan dapat mempengaruhi mutu buah yang dihasilkan (berhubungan dengan pasar global).
  • -       Melakukan sanitasi kebun dengan membuang semua cabang/ranting yang telah mati kemudian dimusnahkan.
  • -       Memangkas secara selektif yaitu dengan mengurangi dan memotong ranting-ranting terserang.
  • -       Penyemprotan fungisida sistemik yang berbahan aktif dinikonasol 2,5 gram/liter air dengan interval waktu 2 minggu sekali.

Sunday, March 27, 2011

Metoda Inventarisasi OPT 

Kegiatan ini menggunakan metode Survey, adapun kegiatan inventarisasi ini terbagi kedalam beberapa tahapan, yang terdiri dari :
        - Pengamatan (surveillance)
        - Pengambilan sampel
        - Isolasi dan Identifikasi
        - Pengawetan spesimen dalam koleksi
        - Pelabelan
        - Dokumentasi
    Pengamatan (Surveillance)
            Hal pertama yang dilakukan adalah menentukan menentukan parameter pengamatan, beberapa parameter yang diamati adalah :
a.    Umur bibit
Umur bibit tanaman kakao sekitar
Umur bibit tanaman kopi kurang dari setahun (Bibit dari perkecambahan biji) dan 3 – 8 bulan (Bibit sambungan) (Anonim, 2006).
b.    Tempat pembibitan
Bibit tanaman kopi dan kakao kadang tidak ditanam di persemaian yang khusus, tetapi sebagian petani menggunakan tempat yang ada sebagai pembibitan. Oleh karena itu tempat pembibitan disini disesuaikan dengan keadaan di lapangan mengacu pada umur bibit tanaman.
c.    Bagian tanaman yang diamati
-          Akar
Untuk tanaman kopi khususnya, terdapat nematode yang menyerang perakaran dari pembibitan sampai dewasa, oleh karena itu perlu dilakukan pengamatan dari bagian perakaran.
-          Batang / cabang
-          Daun

Metode pengambilan sampel

            Area pengambilan sampel dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan populasi tanaman di lapangan, yang diperkirakan dapat mewakili tanaman secara keseluruhan jika memungkinkan. Dalam kegiatan ini dibatasi areal pengambilan sampel 20 % dari populasi tanaman yang ada.
Untuk pengambilan sampel patogen tanaman ada beberapa hal yang harus diperhatikan :
a.    Diusahakan bersamaan harinya dengan pengiriman sampel tersebut untuk ditangani di laboratorium.
b.    Pilih sampel pada garis batas antara bagian tanaman yang sakit dan yang sehat.
c.    Apabila dicurigai akar sebagai masalah, ambil tanah dan jaringan batang bawah beserta sampel akarnya.
d.    Tempatkan sampel pada kertas koran jika sampel masih akan memakan waktu lama untuk ditangani di laboratorium. Sampel ditempatkan pada kantong plastik yang dapat ditutup rapat dan taruhlah kertas tisu kering atau kertas pengering untuk mengisap kelembaban yang berlebihan jika sampel akan segera ditangani di laboratorium
e.    Jangan menambahkan kelembaban atau membungkus sampel basah.
f.     Jangan biarkan bahan sampel mengering.
g.    Pelabelan

Untuk pengambilan sampel serangga relatif lebih mudah dalam penanganan tetapi membutuhkan keahlian dalam pengumpulannya, karena serangga sifatnya aktif dan bisa berada dimana saja pada bagian tanaman ataupun diluar bagian tanaman. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengambilan sampel serangga di lapangan:
a.    Serangga yang aktif dikumpulkan dengan cara ditangkap menggunakan alat berupa sweeping net.
b.    Serangga yang telah ditangkap kemudian dimatikan dalam killing bottle yang berisi chloroform.
c.    Serangga dikumpulkan pada toples plastik berventilasi untuk sementara sebelum ditangani di laboratorium.
d.    Apabila mengirimkan serangga kecil dan/atau tubuhnya lunak (seperti, trips, kutu daun, tungau, dan larva), tempatkan spesimen ke dalam 65% etil alkohol-35% air dan isilah wadah sampai penuh.
e.    Serangga yang dikumpulkan dalam keadaan mati untuk keamanan saat membawa dari lapangan. Tetapi ada beberapa serangga yang mungkin diambil secara hidup, misalnya ketika serangga tersebut masih dalam stadia larva atau nimfa dan kemungkinan kita membutuhkan serangga tersebut untuk ditumbuhkan sampai imago untuk mempermudah identifikasi.

Isolasi dan Identifikasi
Setelah kembali dari lapangan, spesimen sampel sebaiknya segera dipilah-pilah berdasarkan ketahanan sampel tersebut. Prioritas perlu diberikan kepada spesimen yang cepat memburuk, seperti jamur makro yang berdaging atau spesimen-spesimen yang patogennya harus segera diisolasi dari jaringan tanaman. Bakteri dan jamur patogen seringkali harus diisolasi dan dikulturkan dari specimen tanaman berpenyakit sebelum dapat diidentifikasi. Patogen yang dapat tumbuh saprobik (parasit fakultatif atau nekrotrof) umumnya dapat ditumbuhkan dalam kultur, walaupun beberapa di antaranya memerlukan perlakuan khusus

a.    Isolasi
-          Persiapan Isolasi
Banyak jamur dan bakteri saprobik tumbuh pada atau mengkontaminasi jaringan tanaman sebagai pengkoloni sekunder luka penyakit. Oleh karena itu, penting sekali untuk berhati-hati ketika menggunakan teknik steril guna menghindari terjadinya kontaminasi. Sterilisasi permukaan jaringan yang dipotong seringkali diperlukan untuk menghilangkan mikroorganisme saprobik yang biasanya tumbuh di permukaan tanaman.
            Sterilisasi permukaan material tanaman yang sakit menghilangkan saprob dan memungkinkan bakteri atau jamur patogen untuk tumbuh tanpa gangguan bila material dilapiskan pada agar-agar. Etanol (70%) yang digunakan untuk menyeka permukaan atau merendam dapat mensterilkan seluruh permukaan. Tidak diperlukan pencucian pasca perlakuan, karena dapat tanpa dibakar atau dibiarkan menguap. Natrium hipoklorit cair juga banyak  digunakan dan sangat efektif sebagai desinfektan. Pemutih komersial mengandung  10–14% klorin tersedia. Ini biasanya digunakan pada pengenceran 10% (mengandung 1–1,4% klorin tersedia) dengan waktu pencelupan 1–5 menit. Larutan ini sebaiknya disimpan di dalam lemari es, karena kemampuannya akan hilang bila  disimpan lama. Larutan encer yang baru sebaiknya dibuat lagi setiap 2–3 minggu (Shivas & Beasley, 2005).
-         
IIsolai Jamur
Prosedur dasar untuk mengisolasi jamur patogen dari jaringan tanaman adalah sebagai berikut (Shivas & Beasley, 2005):
1.  Cucilah contoh jaringan di bawah air leding yang mengalir untuk menghilangkan tanah, debu, dan kontaminan lainnya; 
2.  Bila contoh terlalu banyak ditumbuhi saprob, sekalah dengan etanol 70%. Hal ini dianjurkan untuk mensterilkan permukaan  jaringan kayu yang sakit;
3.  Irislah jaringan dari tepi  utama luka yang berbatasan dengan jaringan  yang sehat;
4.  Letakkan irisan-irisan jaringan ke dalam larutan natrium hipoklorit 1% dalam etanol 10%. Hal ini perlu disesuaikan bergantung kepada sifat jaringan, karena misalnya, beberapa jaringan daun sangat berpori dan mungkin dapat  mengabsorbsi cukup banyak larutan sterilan untuk dapat mematikan patogen. Waktu pencelupan  untuk sterilisasi biasanya antara 1–5 menit;  
5.  Keluarkan irisan-irisan jaringan dari larutan untuk mensterilisasi dan cucilah dengan cara memindahkannya sebentar ke dalam air suling steril. Kemudian irisan-irisan tersebut sebaiknya dikeringkan di atas kertas saring steril, apabila memungkinkan, dilakukan di udara yang disaring dalam ruang isolasi (laminar flow), sebelum mengiris potongan jaringan kecil  (kira-kira 2 mm x2 mm) yang dilapiskan pada agar-agar air leding atau agar-agar dekstrosa kentang. Pengeringan penting, karena menghambat pertumbuhan bakteri kontaminan. Ketika melapiskan potongan  jaringan pada media agar-agar, tutup cawan Petri sebaiknya diangkat dan ditaruh kembali dengan hati-hati untuk menghindari masuknya kontaminan yang berasal dari udara;
6.  Pelat isolasi sebaiknya diinkubasi dengan posisi terbalik untuk mencegah kondensasi uap air pada permukaan agar-agar. Kebanyakan jamur pathogen tumbuh dengan baik pada suhu 25°C;
7.  Kultur murni dapat diperoleh dari koloni yang berasal dari spora tunggal atau dari ujung hifa yang terdapat pada pelat isolasi awal.  Kultur spora tunggal dapat dibuat dengan menyiapkan suspensi spora dalam air suling steril dan disebarkan di atas agar-agar air leding atau media lain yang sesuai. Pelat-pelat ini kemudian diinkubasikan di  dalam ruang gelap pada suhu kamar selama 24 jam. Selanjutnya pelat-pelat itu diperiksa di bawah mikroskop stereo dan spora-spora tunggal yang berkecambah pada sepotong kecil agar- agar dipindahkan dengan jarum inokulasi ke media yang sesuai;
8. Prosedur tersebut di atas dapat dimodifikasi  sesuai dengan pengalaman atau mengikuti petunjuk yang tercantum dalam pustaka.                                   
Dari daun
Pilihlah daun dengan bilur baru,  karena jamurnya dalam keadaan paling aktif. Secara hati-hati, irislah potongan kecil jaringan dari bagian tepi bilur dengan gunting atau skalpel steril. Sterilisasi permukaan material daun biasanya perlu dilakukan, 1–3 menit dalam larutan natrium hipoklorit 10%, dilanjutkan dengan pembilasan dengan air steril. Selanjutnya, potongan-potongan daun ditaruh pada permukaan agar-agar dengan menggunakan pinset steril.

Dari batang
Bila terdapat bilur yang dalam atau bilur di bagian dalam jaringan pembuluh, contoh dapat diambil dari jaringan bagian dalam untuk menghindari diperlukannya sterilisasi permukaan. Contoh dibelah membujur dari bagian yang sehat ke arah bagian yang sakit dengan menggunakan pisau yang telah  dibakar atau dengan  alat lain yang sesuai  untuk material berkayu.
Dengan menggunakan skalpel steril,  pindahkan jaringan-jaringan dengan hati-hati dari tepi utama luka ke permukaan bagian dalam yang baru disingkap. Dengan menggunakan pinset steril pindahkan potongan  jaringan yang panjangnya 3–5 mm ke cawan Petri yang berisi media agar-agar air leding atau media agar-agar lain yang sesuai. Pada batang yang tipis, biasanya bilur terbatas pada jaringan luar, atau tidaklah  mungkin untuk mengambil contoh jaringan bagian dalam. Dalam hal ini, potongan-potongan kecil jaringan sebaiknya diambil dari tepi bilur dengan menggunakan skalpel steril, permukaan disterilkan (1–3 menit dalam natrium hipoklorit 10%), dicuci dengan air steril, dan disimpan pada permukaan agar-agar.

Dari akar
Cucilah akar-akar yang kecil dan halus untuk menghilangkan tanah yang berlebihan, kemudian taruhlah di dalam mangkuk yang bagian dasarnya rata atau cawan Petri berisi 2–3 cm air, sehingga bagian akar yang berpenyakit mudah dilihat. Pisahkan akar-akar itu  dengan skalpel atau sepasang pinset. Selanjutnya, potonglah bagian akar yang mengarah ke tepi luka/bilur (sebaiknya panjangnya sekitar 5 mm) dengan menggunakan skalpel atau gunting steril. Sterilisasi permukaan juga dapat dilakukan sebentar, tetapi dengan material yang  halus seperti itu, cara pencucian yang lama mungkin yang terbaik. Hal ini dapat dilakukan dengan menaruh potongan-potongan akar dalam saringan yang halus di bawah air leding bersih yang mengalir secara perlahan selama 30–90 menit. Selanjutnya, dengan menggunakan skalpel atau sepasang pinset steril, pindahkan potongan akar ke cawan Petri yang berisi media TWA (atau media agar-agar lain), dengan menaruh potongan-potongan ke dalam permukaan agar-agar.
Kadangkala gejala penyakit tampak jelas, tetapi patogen penyebabnya ternyata sulit diisolasi. Bila hal ini terjadi, material  tanaman dapat diinkubasi di dalam wadah lembab untuk merangsang pembentukan tubuh buah dan sporulasi. Kendalanya, saprob yang terdapat pada permukaan  tanaman juga  dirangsang pertumbuhannya.
Penyekaan permukaan material sekilas dengan alkohol teknis atau larutan natrium hipoklorit 10% mungkin dapat menolong, tetapi dapat merusak struktur permukaan patogen yang ada. Cara lain, spesimen  dapat juga dicuci dengan air steril dan dikeringkan sebelum inkubasi.
Wadah lembab sebaiknya diinkubasi pada suhu di bawah 25°C dan yang terbaik disimpan di tempat yang terang, misalnya di meja laboratorium, namun tidak langsung terkena sinar matahari dan pada suhu yang diusahakan tetap untuk menghindari kondensasi. Wadah ini harus diperiksa setiap hari, diamati di bawah mikroskop stereo dengan perbesaran rendah untuk melihat sporulasi. Selanjutnya, struktur  spora dapat  dipindahkan dengan menggunakan jarum halus yang steril untuk pemeriksaan mikroskopik yang lebih teliti atau untuk dikulturkan pada media agar-agar.
-          Isolasi Nematoda
Metode ekstraksi nematoda ada yang aktif, bertumpu pada gerakan nematoda, atau pasif, dengan memisahkan nematoda berdasarkan ukuran dan kerapatan. Metode paling sederhana untuk ekstraksi nematoda aktif ialah dengan menggunakan penampan Whitehead atau corong Baermann.

b.    Identifikasi
Identifikasi OPT dilakukan dengan membandingkan gejala pada tanaman, specimen OPT dan keterangan lainnya dengan literatur. Untuk hama tanaman identifikasi dilakukan dengan melihat ciri-ciri fisiknya, sedangkan untuk pathogen maka dilihat pertumbuhan pada media, meliputi bentuk dan warna koloni, serta pengamatan secara makro dan mikroskopis.
2.4. Pengawetan specimen dalam koleksi         
a. Koleksi Hama
            Sampel hama dari lapangan dikoleksi secara basah dengan menggunakan etil alcohol (70-80%). Jika sampel hama diperoleh dalam jumlah banyak maka dapat juga diawetkan secara kering dengan dilakukan perentangan pada kotak koleksi serangga.
b.  Koleksi Patogen Tanaman
Koleksi pathogen tanaman berupa gejala pada daun dapat diawetkan secara basah dalam larutan FAA dan Tembaga Sulfat. Koleksi pathogen tanaman dalam bentuk kultur di media agar.
Pelabelan
Pelabelan penting untuk dilakukan sebagai data dasar dari koleksi hasil inventarisasi. Data pada label meliputi :
1.    Nama OPT
2.    Tanaman Inang
3.    Bagian yang diserang
4.    Gejala yang ditimbulkan
5.    Lokasi pengambilan sampel (alamat sebenarnya, koordinat dari GPS)
6.    Nama kolektor

Pendokumentasian
            Dokumentasi kegiatan inventarisasi penting dilakukan untuk merekam seluruh kegiatan yang dilakukan, dokumentasi yang dimaksud meliputi :
1.    Foto-foto dilapangan (gejala, serangga hidup dll)
2.    Foto-foto penanganan di laboratorium
3.    Foto-foto identifikasi dan koleksi